Berhembusnya
isu terkait penyalahgunaan dana perimbangan daerah pada rapat anggota DPR tak
terlepas dari adanya bukti penangkapan sejumlah petinggi partai serta pejabat Kementerian
keuangan. Hal ini dibenarkan oleh salah satu juru bicara KPK, Febri Driansyah.
Beberapa kepala daerah serta PNS dari pemerintahan dilakukan pemeriksaan guna
menelusuri alokasi dana Anggaran APBD yang diduga berkaitan langsung dengan
dana perimbangan (cnn.com)
Berselang
beberapa hari selanjutnya, kembali masyarakat dibuat kaget dengan berita berupa
mantan narapidana pelaku korupsi diperbolehkan untuk mengajukan diri sebagai
calon legislatif. Beberapa petinggi partai, menentang adanya keputusan tersebut.
Adanya inkonsistensi pada Baawaslu dalam penetapan peraturan, menimbulkan
kegaduhan. Disisi lain, pihak Bawaslu mengaku bahwa mereka tidak melakukan
intepretasi sendiri atas penerapan hukum tersebut. Hal ini dibenarkan oleh
Ketua Bawaslu, Abhan. Beliau menyatakan dalam penetapan calon legislatif tidak
ada peraturan yang bertuliskan secara konkrit bahwa mantan narapidana dilarang
untuk mencalonkan diri kembali menjadi anggota legislatif. Kontradiktif dengan
hal tersebut, PKPU sendiri mengeluarkan peraturan dimana mereka melarang mantan narapidana
korupsi untuk melakukan pencalonan kembali sebagai anggota legislatif
(republika.com)
Salah
satu peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus,
memprediksikan bahwa kursi DPR untuk periode 2019-2024 akan di ramaikan oleh
koruptor kembali. Hal ini didasarkan dari keputusan bawaslu yang terkesan acuh
terhadap permasalahan yang cukup serius di lingkup DPR. Tak hanya itu, beliau
juga meyakinkan dampak yang ditimbulkan akan lebih besar. Bagaimana tidak, jika
bawaslu mengizinkan bakal calon
legislatif berasal dari mantan koruptor, tidak menutup kemungkinan, dimasa
depan ketika melalukan korupsi kembali mereka akan berlindung dibalik nama
Bawaslu itu sendiri. (cnn.com)
Adanya
perpecahan perspektif dalam penetuan lolos tidaknya mantan narapidana korupsi,
tidak terlepas dari peran besar Bawaslu. Kita ketahui sendiri, bahwa bawaslu
memiliki fungsi sebagai badan pengawas. Hilangnya fungsi pengawasan serta
lemahnya penggunaan sumber hukum menjadi salah satu kelemahan penerapan hukum
di negeri ini. Terlepas dari hal tersebut, berita mengenai korupsi seperti tak
ada habisnya di negeri ini. Lain pihak, terbuka lebarnya kesempatan pada wakil
rakyat untuk mengalokasikan anggaran pembelajaan suatu daerah, sangat rentan
membuka peluang bagi para pelaku korupsi untuk melakukan kejahatan
Hampir
seluruh rakyat indonesia pasti akan lelah mendengar kata “wakil rakyat”.
Bagaimana tidak, mereka yang diibaratkan sebagai perpanjangan tangan rakyat
yang pada pundaknya diharapakan mewakili aspirasi mereka, malah menggunakan
dana rakyat untuk kepentingan pribadinya. Wajar saja, jika rakyat akan bersikap
apatis pada pemerintahan. Layaknya hidup
enggan mati tak mau. Disatu sisi mereka yang kesusahan ingin suaranya didengar
dan dibantu oleh pemerintah, disisi lain ternyata mereka yang dipercayakan
jabatan memakan dana yang dipercayakan pada mereka.
Utopia
pada penerapan demokrasi yang begitu di elukan pada negara ini membuat kita
sebagai masyarakat memandang kabur persoalan yang ada. Digaungkannya asas
demokrasi berupa bebas, umum, langsung, rahasia, jujur serta adil, membuat
masayarakat mengalami halusinasi sementara akan permasalahan. Bagaimana tidak,
ditengah kesusahan yang ada diantara masyarakat, adanya penyelewengan dana tidak
dapat diketahui oleh mereka. Hingga terjadi kesusahan, infrastruktur yang
rapuh, kelangkaan sumber daya di suatu daerah barulah diketahui sumber
permasalahnnya.
Sampai
kapan masyarakat akan tertipu dengan sistem demokrasi ini ? Begitu rapuhnya
sistem buatan ini menyebabkan potensi
besar kerusakan terjadi di lingkup setingkat negara. Jika masih berbicara dalam
lingkup keluarga mungkin ada batasan yang dapat di tolerir, beda hal nya jika
lingkup negara. Dimana fungsi negara harusnya meindungi serta mengayomi
rakyatnya. Namun, dibiarkan nya penjilat-penjilat negeri ini kembali
mencalonkan diri berarti sama besarnya memberi mereka peluang secara bebas
meraup keuntungan pribadi yang berimbas pada kesengsaraan rakyat.
Dilain
pihak, pembenturan dalam penggunaan undang-undang salah satu bukti lemahnya
sistem yang ada. Interpretasi ganda suatu hukum patutlah dicurigai, bagaimana
tidak. Hukum yang harusnya bersifat tegas, berubah menjadi fleksibel dimata
suatu kepentingan. Jika kepentingan itu untuk rakyat, tak masalah. Tapi jika hal
tersebut hanya menguntungkan pribadi wakil rakyat, lantas dimana hak kita
sebagai rakyat? Lemahnya sistem yang ada harusnya cukup menamparkan kita.
Sepatutnya tidak membiarkan hal ini berlarut-larut terjadi.
Dalam
islam dikenal suatu konsep dalam struktur kekhilafahan berbentuk lembaga yang berguna untuk mengatur penerimaan dan
pengeluaran negara yang sering disebut dengan Baitul mal, tentunya tidak
mengadalkan sektor perpajakan. Berbeda halnya dengan APBN yang kita ketahui.
Pengeluaran pengguanaan baitul mal, dapat langsung diputuskan oleh seorang
Khalifah (pemimpin negara) tanpa perku dilakukan rapat serta persetujuan oleh
anggota dewan, seperti halnya yang sering kita ketahui dewasa ini.
Penyusunan anggaran belanja negara Khilafah juga tidak terikat
dengan tahun fiskal sebagaimana dikenal dalam sistem ekonomi yang ada saat ini.
Khalifah hanya tunduk pada garis-garis atau kaidah-kaidah yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam. Khalifah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pos-pos
pengeluarannya, dan besaran dana yang harus dialokasikan, dengan mengacu pada
prinsip kemaslahatan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya, berdasarkan pada
ketentuan yang telah digariskan oleh syariah Islam, agar harta tersebut tidak
hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja
Sudah
waktunya, kembali menilik sejarah. Dimana kita akan tersadarkan, bahwa ada
solusi terbaik ditengah fatamorgana sistem demokrasi yang ada. Ditawarkannya
sistem ini tak terlepas dari fokus utama pada rakyat. Sistem yang tak memiliki
kerapuhan bukan hanya karena telah menjadi contoh dizaman dahulu, tetapi karena
kebermanfaatannya untuk rakyat serta minimnya akses oknum untuk melakukan
penyelewengan dana. Tersadarkannya rakyat dari kerapuhan serta kekurangan yang
ada pada sistem ini, seharusnya menjadi alasan yang cukup bagi mereka untuk
berfikir, lelah dirugikan mari bersatu kembali pada islam.