Rabu, 12 September 2018

Wakil Rakyat, Penyuapan Birokrat, dan Korupsi. Pusaran tiada Akhir buah demokrasi


Berhembusnya isu terkait penyalahgunaan dana perimbangan daerah pada rapat anggota DPR tak terlepas dari adanya bukti penangkapan sejumlah petinggi partai serta pejabat Kementerian keuangan. Hal ini dibenarkan oleh salah satu juru bicara KPK, Febri Driansyah. Beberapa kepala daerah serta PNS dari pemerintahan dilakukan pemeriksaan guna menelusuri alokasi dana Anggaran APBD yang diduga berkaitan langsung dengan dana perimbangan (cnn.com)
Berselang beberapa hari selanjutnya, kembali masyarakat dibuat kaget dengan berita berupa mantan narapidana pelaku korupsi diperbolehkan untuk mengajukan diri sebagai calon legislatif. Beberapa petinggi partai, menentang adanya keputusan tersebut. Adanya inkonsistensi pada Baawaslu dalam penetapan peraturan, menimbulkan kegaduhan. Disisi lain, pihak Bawaslu mengaku bahwa mereka tidak melakukan intepretasi sendiri atas penerapan hukum tersebut. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Bawaslu, Abhan. Beliau menyatakan dalam penetapan calon legislatif tidak ada peraturan yang bertuliskan secara konkrit bahwa mantan narapidana dilarang untuk mencalonkan diri kembali menjadi anggota legislatif. Kontradiktif dengan hal tersebut, PKPU sendiri mengeluarkan peraturan  dimana mereka melarang mantan narapidana korupsi untuk melakukan pencalonan kembali sebagai anggota legislatif (republika.com)
Salah satu peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, memprediksikan bahwa kursi DPR untuk periode 2019-2024 akan di ramaikan oleh koruptor kembali. Hal ini didasarkan dari keputusan bawaslu yang terkesan acuh terhadap permasalahan yang cukup serius di lingkup DPR. Tak hanya itu, beliau juga meyakinkan dampak yang ditimbulkan akan lebih besar. Bagaimana tidak, jika bawaslu mengizinkan  bakal calon legislatif berasal dari mantan koruptor, tidak menutup kemungkinan, dimasa depan ketika melalukan korupsi kembali mereka akan berlindung dibalik nama Bawaslu itu sendiri. (cnn.com)
Adanya perpecahan perspektif dalam penetuan lolos tidaknya mantan narapidana korupsi, tidak terlepas dari peran besar Bawaslu. Kita ketahui sendiri, bahwa bawaslu memiliki fungsi sebagai badan pengawas. Hilangnya fungsi pengawasan serta lemahnya penggunaan sumber hukum menjadi salah satu kelemahan penerapan hukum di negeri ini. Terlepas dari hal tersebut, berita mengenai korupsi seperti tak ada habisnya di negeri ini. Lain pihak, terbuka lebarnya kesempatan pada wakil rakyat untuk mengalokasikan anggaran pembelajaan suatu daerah, sangat rentan membuka peluang bagi para pelaku korupsi untuk melakukan kejahatan
Hampir seluruh rakyat indonesia pasti akan lelah mendengar kata “wakil rakyat”. Bagaimana tidak, mereka yang diibaratkan sebagai perpanjangan tangan rakyat yang pada pundaknya diharapakan mewakili aspirasi mereka, malah menggunakan dana rakyat untuk kepentingan pribadinya. Wajar saja, jika rakyat akan bersikap apatis pada pemerintahan. Layaknya  hidup enggan mati tak mau. Disatu sisi mereka yang kesusahan ingin suaranya didengar dan dibantu oleh pemerintah, disisi lain ternyata mereka yang dipercayakan jabatan memakan dana yang dipercayakan pada mereka.
Utopia pada penerapan demokrasi yang begitu di elukan pada negara ini membuat kita sebagai masyarakat memandang kabur persoalan yang ada. Digaungkannya asas demokrasi berupa bebas, umum, langsung, rahasia, jujur serta adil, membuat masayarakat mengalami halusinasi sementara akan permasalahan. Bagaimana tidak, ditengah kesusahan yang ada diantara masyarakat, adanya penyelewengan dana tidak dapat diketahui oleh mereka. Hingga terjadi kesusahan, infrastruktur yang rapuh, kelangkaan sumber daya di suatu daerah barulah diketahui sumber permasalahnnya.
Sampai kapan masyarakat akan tertipu dengan sistem demokrasi ini ? Begitu rapuhnya sistem buatan ini  menyebabkan potensi besar kerusakan terjadi di lingkup setingkat negara. Jika masih berbicara dalam lingkup keluarga mungkin ada batasan yang dapat di tolerir, beda hal nya jika lingkup negara. Dimana fungsi negara harusnya meindungi serta mengayomi rakyatnya. Namun, dibiarkan nya penjilat-penjilat negeri ini kembali mencalonkan diri berarti sama besarnya memberi mereka peluang secara bebas meraup keuntungan pribadi yang berimbas pada kesengsaraan rakyat.
Dilain pihak, pembenturan dalam penggunaan undang-undang salah satu bukti lemahnya sistem yang ada. Interpretasi ganda suatu hukum patutlah dicurigai, bagaimana tidak. Hukum yang harusnya bersifat tegas, berubah menjadi fleksibel dimata suatu kepentingan. Jika kepentingan itu untuk rakyat, tak masalah. Tapi jika hal tersebut hanya menguntungkan pribadi wakil rakyat, lantas dimana hak kita sebagai rakyat? Lemahnya sistem yang ada harusnya cukup menamparkan kita. Sepatutnya tidak membiarkan hal ini berlarut-larut terjadi.
Dalam islam dikenal suatu konsep dalam struktur kekhilafahan berbentuk lembaga yang berguna untuk mengatur penerimaan dan pengeluaran negara yang sering disebut dengan Baitul mal, tentunya tidak mengadalkan sektor perpajakan. Berbeda halnya dengan APBN yang kita ketahui. Pengeluaran pengguanaan baitul mal, dapat langsung diputuskan oleh seorang Khalifah (pemimpin negara) tanpa perku dilakukan rapat serta persetujuan oleh anggota dewan, seperti halnya yang sering kita ketahui dewasa ini.
Penyusunan anggaran belanja negara Khilafah juga tidak terikat dengan tahun fiskal sebagaimana dikenal dalam sistem ekonomi yang ada saat ini. Khalifah hanya tunduk pada garis-garis atau kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Khalifah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pos-pos pengeluarannya, dan besaran dana yang harus dialokasikan, dengan mengacu pada prinsip kemaslahatan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya, berdasarkan pada ketentuan yang telah digariskan oleh syariah Islam, agar harta tersebut tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja
Sudah waktunya, kembali menilik sejarah. Dimana kita akan tersadarkan, bahwa ada solusi terbaik ditengah fatamorgana sistem demokrasi yang ada. Ditawarkannya sistem ini tak terlepas dari fokus utama pada rakyat. Sistem yang tak memiliki kerapuhan bukan hanya karena telah menjadi contoh dizaman dahulu, tetapi karena kebermanfaatannya untuk rakyat serta minimnya akses oknum untuk melakukan penyelewengan dana. Tersadarkannya rakyat dari kerapuhan serta kekurangan yang ada pada sistem ini, seharusnya menjadi alasan yang cukup bagi mereka untuk berfikir, lelah dirugikan mari bersatu kembali pada islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar